Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 07 Agustus 2010

Sejarah dan Pemerintahan DIY






Sejarah

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.

Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indische setelah kekalahan Jepang.

Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:


Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

Sedangkan kekuasaan Praja Paku Alaman meliputi:
Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.

Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946 ). Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia.

"(1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi."(Pasal 1 UU No 3 Tahun 1950)[3][4]


Pemerintahan

Umum

Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dasar filosofi yang lain adalah Hamangku-Hamengku-Hamengkoni, Tahta Untuk Rakyat, dan Tahta untuk Kesejahteraan Sosial-kultural.


Provinsi

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 3) dan UU Nomor 19 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 48) yang diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP Nomor 31 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 58).

UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan.

UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Status Yogyakarta pada saat pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada 1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di Indonesia.


Kabupaten/Kota

Pembentukan


Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten -kabupaten dan kota yang berotonomi dan diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 44) dan UU Nomor 16 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP Nomor 32 Tahun 1950 ( Berita Negara Tahun 1950 Nomor 59) yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten:


Bantul beribukota di Bantul
Sleman beribukota di Beran
Gunungkidul beribukota di Wonosari
Kulon Progo beribukota di Sentolo
Adikarto beribukota di Wates
Kota Besar Yogyakarta

Sebelum (1945)

Dengan alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU No 22 Tahun 1948).

Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut.

Sesudah (2007)

Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkan UU Darurat Nomor 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU Nomor 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).


Daftar Kabupaten/Kota

No. Kabupaten/Kota Ibu kota

1 Kabupaten Bantul Bantul
2 Kabupaten Gunung Kidul Wonosari
3 Kabupaten Kulon Progo Wates
4 Kabupaten Sleman Sleman
5 Kota Yogyakarta -


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta


Sumber Gambar:

http://indonesiacultural.blogspot.com/2009/02/queen-of-south-parangtritis-central.html

http://echoarianto.files.wordpress.com/2010/02/prambanan2.jpg

http://mepow.files.wordpress.com/2009/07/kraton-yogyakarta1.jpg

http://students.ukdw.ac.id/~22084512/gambar/tugu%20jogja.jpg

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta






Kota Yogyakarta

Seperti halnya kota-kota lain, Kota Yogyakarta diwarnai berbagai aktivitas non-pertanian. Kontribusi terbesar bagi PDRB kota yang pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia ini datang dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor lainnya yang juga menyumbang peran secara berimbang adalah sektor jasa-jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan, dan sektor industri pengolahan.

Pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran, Kota Yogyakarta berhasil merealisasikan nilai ekspor lebih dari US $ 36 juta. Mebel kayu merupakan komoditi dengan nilai ekspor terbesar, mencapai 54,47 persen dari nilai ekspor keseluruhan. Komoditi andalan lainnya adalah kulit lembaran disamak dengan kontribusi terhadap jumlah ekspor keseluruhan 13,50 persen, sarung tangan golf 8,73 persen, kerajinan kayu 5,78 persen, dan minyak atsiri 3,53 persen.

Untuk perdagangan lokal, di Kota Yogyakarta terdapat 14.182 tempat berdagang. Tempat berdagang terbanyak adalah dalam bentuk los. Sedangkan yang terkecil adalah tempat berdagang berbentuk kios.

Sebagai penunjang berbagai aktivitas bisnis dan juga pariwisata terutama wisata sejarah, Kota Yogyakarta memiliki fasilitas akomodasi yang cukup memadai. Kota yang selain dijuluki kota Gudeg juga dijuluki sebagai kota pelajar ini memiliki 23 hotel bintang dan 300 hotel non-bintang. Hotel bintang dan non-bintang terbanyak terdapat di Kecamatan Gedongtengen, yaitu 6 hotel bintang dan 109 hotel non-bintang.

Untuk sektor industri pengolahan, mayoritas industri yang ada di kota Yogyakarta adalah industri kecil. Sedangkan industri besar dan sedang hanya 1,78 persen dari keseluruhan industri yang ada di ibukota Propinsi DIY ini. Begitu juga dengan penyerapan tenaga kerja, industri kecil menyerap tenaga kerja lebih banyak dari industri besar dan sedang, yaitu hampir 4 kali lipatnya.


Sumber :

http://www.cps-sss.org/web/home/kabupaten/kab/Kota+Yogyakarta


Batik Sleman Dikenal di Pasar Internasional

Saat ini, batik tulis dari Sleman mulai dikenal masyarakat di kalangan internasional. Hal itu dikarenakan batik tulis dari Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu gencar dipromosikan di pasar internasional. Antara lain di beberapa negara bekas Uni Soviet, Jepang, Amerika, dan sejumlah negara di Asia Tenggara, karena prospeknya bagus. "Pasar internasional mulai melirik batik Sleman yang memiliki motif gambar gajah maupun alam dengan dominasi warna biru," ujar Bambang Sumardiyono, pemilik `Wisata Batik Nakula Sadewa` di Sleman, Minggu (21/3).

Menurut Sumardiyono, apabila selama ini yang banyak dikenal adalah batik Pekalongan, Yogyakarta maupun Solo, kini dia mulai mempromosikan batik Sleman yang diproduksi di Sleman dan memiliki ciri khas tersendiri, baik motif maupun warnanya. "Saya hanya berusaha memperkenalkan bahwa Sleman juga merupakan daerah yang memproduksi batik, dan tidak kalah dengan batik dari daerah lain," ujarnya.

Sumardiyono mengatakan, dalam setiap pameran di sejumlah negara seperti Rusia, Latvia, Jepang, Jerman, dan Amerika, ternyata apresiasi masyarakat setempat terhadap batik Sleman positif. "Minat masyarakat di negara-negara itu sangat tinggi, dan mereka memberikan penghargaan yang tinggi pula terhadap batik tulis yang memiliki nilai seni," ujarnya.

Dia mengatakan sebanyak apa pun batik yang dipamerkan, pasti ludes dibeli, bahkan batik yang digunakan untuk `display` juga dibeli setelah pameran usai. "Saat ini permintaan terhadap batik di negara-negara tersebut cukup tinggi, dan dalam satu bulan minimal omzet penjualan mencapai Rp200 juta lebih," katanya.

Sumardiyono mengatakan untuk mempertahankan pasar batik Sleman di dunia internasional, pihaknya berusaha menjaga kualitas terutama dalam penggunaan bahan pewarna alam. "Mereka sangat menghargai penggunaan pewarna alam, sehingga kami tetap mengutamakan pewarna jenis ini," ujarnya.

Menurut dia, kualitas warna memang lebih bagus jika menggunakan pewarna sintetis atau kimia, namun pihaknya terus berusaha agar warna alam dapat sebagus pewarna sintetis. (Ant)


Sumber :

http://sosialbudaya.tvone.co.id/berita/view/34783/2010/03/21/batik_sleman_dikenal_di_pasar_internasional/

21 Maret 2010



Pengunjung Prambanan Juga Wajib Kenakan Sarung Batik


Setelah diterapkan di Candi Borobudur, pengelola Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (PT TWC) juga berencana memberlakukan pengenaan sarung batik serta sandal bersol karet di Candi Prambanan.

Menurut Direktur Utama PT TWC Purnomo Siswoprasetyo pengenaan sarung batik kepada para pengunjung yang bercelana pendek baik untuk turis asing maupun domestik.

“Rencananya setelah berlaku di Borobudur, kita juga akan terapkan di candi Prambanan. Ini dilakukan sekaligus untuk menghargai nilai-nilai budaya bangsa,” kata Purnomo, Rabu (17/2/2010).

Purnomo mengatakan selain sarung batik para pengunjung juga akan memakai sandal dengan sol dari karet. Hal ini dilakukan untuk menjaga keausan batu candi dari gesekan. Nantinya, pihak pengelola, imbuh Purnomo juga masih akan meminjamkan sarung serta sandal untuk dikembalikan. Namun, demikian rencana ini masih akan dipersiapkan terlebih dulu.

“Seperti di Borobudur, nantinya di Prambanan juga akan diuji coba dulu dan kita belum akan menarik biaya. Sekarang kita baru siapkan menganai karcis kartu (smard card),” jelasnya.

Dia menambahkan di tahun 2010 ini pihaknya terus menggalakan berbagai program untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan khususnya dari Bali. Apalagi dengan rencana dibukanya penerbangan langsung Garuda dari Eropa di bulan Juni diharapkan akan lebih mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan.

“Kita harapkan Prambanan dan Borobudur akan jadi tujuan utama wisman bukan lagi Bali. Apalagi besok Juni penerbangan Garuda dari Eropa sudah dibuka kembali,” terang Purnomo.(Satria Nugraha/Trijaya/mbs)


Sumber :

http://news.okezone.com/read/2010/02/17/340/304463/340/pengunjung-prambanan-juga-wajib-kenakan-sarung-batik

17 Februari 2010


Sumber Gambar:

Candi Prambanan (Foto: Daylife)


Sleman Jadi Pilot Proyek Kependudukan

Bersama Kota Bogor, Kabupaten Sleman sudah ditentukan sebagai proyek percontohan nasional dari Direktorat Proyeksi Dan Penyerasian Kebijakan Kependudukan, Kementerian Dalam Negeri. Proyek percontohan ini, kata Wakil Bupati Sleman, Sri Purnomo, berkesesuaian dengan komitmen Pemkab Sleman yang terus memajukan pembangunan yang berwawasan kependudukan.

''Namun persoalannya, selama ini data penduduk yang komprehensif bisa dikatakan masih terbatas. Data-data tersebut sifatnya masih terbatas hanya pada periode tertentu saja, misalnya seperti Sensus yang hanya memetakan data penduduk pada periode 10 tahun saja,'' kata Wabup, Kamis.

Ia berbicara pada ''Rapat Penetapan Hasil Penyusunan Proyeksi Penduduk Kabupaten/Kota'' di Sleman. Menurut Wabup, Sleman mempunyai karakteristik tersendiri manyangkut perkembangan penduduknya. ''Dinamika kehidupan masyarakat di Sleman sangat cepat berubah, sehingga data-data penduduk yang ada akhirnya dinilai kurang sesuai jika digunakan dalam penyu sunan kebijakan pemerintah dan perencanaan daerah,'' tuturnya.

Kondisi ini timbul, katanya, karena Sleman juga dikenal sebagai tujuan pendidikan dengan banyaknya universitas baik negeri maupun swasta, pusat pertumbuhan dan kawasan aglomerasi Kota Yogyakarta. ''Konsekuensi logisnya, Sleman menjadi daya tarik bagi mobilitas penduduk untuk tinggal di Sleman baik menetap atau sementara,'' katanya.

Dijelaskannya, untuk dapat memberikan pelayanan yang baik, Pemkab Sleman jelas membutuhkan data kependudukan yang valid dan up-to-date.

Data ini, katanya, penting untuk pembuatan kebijakan pembangunan, perumusan perencanaan pembangunan dan pemberian pelayanan pemerintahan. ''Namun, karena keterbatasan sisi anggaran, Pemkab Sleman belum bisa melaksanakan pendataan kependudukan penduduk yang tinggal di Sleman baik yang menetap, tinggal sementara atau mereka yang nglaju dari daerah lain di sekitar Sleman untuk bekerja atau belajar,'' jelasnya.

Ia mengatakan besarnya anggaran yang harus dialokasikan untuk melakukan update, pendataan penduduk atau sensus penduduk, maka proyeksi penduduk seperti tertuang dalam UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan seringkali menghadapi kendala. Sedang di sisi lain, katanya, proyeksi kependudukan ini penting karena dinamika kependudukan di Sleman sangat tinggi.

Sebagai gambaran. Wabup menjelaskan di tahun 2005, jumlah penduduk Sleman tercatat 905.325 jiwa. Tahun 2008, meningkat menjadi 1.090.250 jiwa. Sementara di tahun 2009 lalu, berdasarkan data di Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan tercatat sudah mencapai 1.103.119 jiwa.

Sementara dari sisi kualitas, dari tahun ke tahun penduduk Sleman juga terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sleman yang selalu menunjukan tren meningkat.

Katanya, di tahun 2008 IPM Sleman mencapai 77,02. Capaian ini menunjukkan peningkatan 0,32 poin dari IPM tahun 2007 yang mencapai 76,70. ''IPM yang dicapai Sleman ini merupakan yang tertinggi untuk kabupaten se Indonesia,'' tutur Wabup.

Menurut dia, IPM ini disusun atas dasar 3 komponen, yakni lamanya hidup diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan dan tingkat kehidupan yang layak. Sedangkan data penunjang analisis meliputi bidang ketenagakerjaan, bidang ekonomi, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.


Red: Krisman Purwoko
Rep: yoe


Sumber :

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/07/30/127629-sleman-jadi-pilot-proyek-kependudukan

30 Juli 2010



Kabupaten Sleman



Kabupaten Sleman, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ibukotanya adalah Sleman. Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di utara dan timur, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Sleman dikenal sebagai asal buah salak pondoh. Berbagai perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta sebenarnya secara administratif terletak di wilayah kabupaten ini, di antaranya Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta.

Pusat pemerintahan di Kecamatan Sleman, yang berada di jalur utama antara Yogyakarta - Semarang. Dengan Pendapatan Asli Daerah Rp. 52.978.731.000,- (2005) Kabupaten Sleman merupakan Kabupaten Terkaya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagian utara kabupaten ini merupakan pegunungan, dengan puncaknya Gunung Merapi di perbatasan dengan Jawa Tengah, salah satu gunung berapi aktif yang paling berbahaya di Pulau Jawa. Sedangkan di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur. Di antara sungai-sungai besar yang melintasi kabupaten ini adalah Kali Progo (membatasi kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo), Kali Code, dan Kali Tapus.


Kecamatan

Berbah
Cangkringan
Depok
Gamping
Godean
Kalasan
Minggir
Mlati
Moyudan
Ngaglik
Ngemplak
Pakem
Prambanan
Seyegan
Sleman
Tempel

Turi


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sleman


Sumber Gambar:

http://fpti-sleman.blogspot.com/2010/03/kecamatan-se-kabupaten-sleman.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sleman

Profil Kabupaten Kulon Progo



Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah bagian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak paling barat dengan batas sebelah barat dan utara adalah Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan adalah Samudera Indonesia .

Secara geografis terletak antara 7 o 38'42" - 7 o 59'3" Lintang Selatan dan 110 o 1'37" - 110 o 16'26" Bujur Timur.

Luas area adalah 58.627,5 Ha yang meliputi 12 kecamatan dan 88 desa. Dari luas tersebut 24,89 % berada di wilayah Selatan yang meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur, 38,16 % di wilayah tengah yang meliputi kecamatan Lendah, Pengasih, Sentolo, Kokap, dan 36,97 % di wilayah utara yang meliputi kecamatan Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh.

Luas kecamatan antara 3.000 - 7.500 Ha dan yang wilayahnya paling luas adalah kecamatan Kokap seluas 7.379,95 Ha sedangkan yang wilayahnya paling sempit adalah kecamatan Wates seluas 3.200,239 Ha.

Kabupaten Kulon Progo yang berada sekitar 25 km arah barat kota Yogya memiliki aksesibilitas baik dan mudah dijangkau, terhubung dengan kota-kota di Jawa bagian selatan oleh jalur transportasi regional Jawa selatan baik melalui jalan raya maupun kereta api.

Pantai Glagah hanyalah satu dari sekian banyak obyek pariwisata kabupaten ini. Selebihnyanya adalah wisata Waduk Sermo, pegunungan, gua, hingga wisata ziarah. Kabupaten dengan wilayah terbesar berada di tanah datar, masih berorientasi pada pertanian. Hamparan sawah dan ladang di setiap sudut kabupaten menjadi gantungan hidup sebagian masyarakatnya. Dikabupaten ini padi ditanam di semua wilayah dari utara hingga selatan. Kelapa adalah produk unggulan lain di Kulon Progo. Dari nira kelapanya diperoleh gula yang dikenal sebagai gula jawa. Sentranya terletak di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Temon, Sentolo dan Nanggulan.


Sumber Data:
Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka 2007
(07-8-2008)
BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jalan Ring Road Barat Yogyakarta
Telp (0274) 373322
Fax 2008-08-07

Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/displayprofil.php?ia=3401


Sumber Gambar:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/77/Locator_Kabupaten_Kulon_Progo.png
http://polreskulonprogo.com/images/map_kprogo.gif

Urun Rembug Pasir Besi Kulonprogo

PERLU penyadaran bersama, zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Kekayaan pasir besi di Kulonprogo yang terhampar di lahan seluas 3.000 hektar bukanlah barang yang harus ditelantarkan. Bila tanah seluas itu dikelola dengan baik, masyarakat menyadarkan pengusaha dan pemerintah membudidayakan masyarakat, bukan tidak mungkin keinginan untuk menambang pasir besi masih ada peluang. Tergantung bagaimana kita.
Mengolah potensi pasir besi di hamparan lahan seluas 3.000 hektar di pantai Kulonprogo yang dibatasi Sungai Progo di bagian timur dan Sungai Serang di bagian barat, tidak harus berpanas-panasan. Panasnya terik matahari pada saat menambang dan panasnya api pada saat mengubah pasir besi menjadi pelet besi mampu menciptakan pasir besi menjadi barang yang bermanfaat. Namun demikian, hendaknya panasnya hati yang saat ini menyulut arogansi sekelompok masyarakat dengan cara membakar beberapa poskamling yang dibangun masyarakat, sebenarnya tidak perlu terjadi.

Sudah merupakan kebijakan pemerintah bahwa untuk menambang pasir besi dilakukan kajian terlebih dahulu dengan menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), suatu pekerjaan yang disyaratkan kepada pengusaha untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum bongkar-membongkar lahan pasir besi dilakukan. Sosialisasi kegiatan kepada masyarakat perlu dilakukan, dengan penuh kesabaran dan cara pendekatan orang Ngayogyakarta. Keinginan masyarakat petani pantai yang sudah telanjur merasakan manisnya melon dan pedasnya cabe yang berguna untuk membugarkan kesehatan, bukan tidak mungkin untuk sementara dihentikan pada saat lahan yang bukan miliknya ditambang.

Dalam proses pengerukan pasir di pantai, sebenarnya hanya 30 persen yang dapat diambil pasir besinya, sisanya dikembalikan ke tempat semula. Untuk mengembalikan, agar lahan bekas penambangan pasir besi dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian kembali, wajib dilakukan reklamasi dan untuk ini model wong Yogya ada cara tersendiri. Bagaimana caranya?
Sampah kota Yogyakarta yang merupakan dedaunan dan jumlahnya tidak kurang dari 40.000 meter kubik setiap harinya, dapat dimanfaatkan untuk dibuat kompos, semacam pupuk organik penyubur tanah. Sampah organik, tersedia dan tidak akan habis. Alat pembuat kompos dapat direkayasa dan disediakan oleh pengusaha penambang pasir besi.

Pembuatan kompos diserahkan kepada masyarakat. Hasil kompos dimanfaatkan oleh masyarakat petani pantai untuk menyuburkan tanah yang sudah direklamasi. Bukan tidak mungin, harga pupuk urea yang makin tidak terjangkau oleh kantong petani, kompos akan dapat menggantikan pupuk urea.

Uji coba penambangan pasir besi yang telah dilakukan ditengarahi oleh masyarakat menghasilkan debu yang mengganggu ladang masyarakat sekitar, bukanlah merupakan persoalan yang tidak dapat diselesaikan. Pemisahan pasir besi dengan sistem kering di tempat “kubah tertutup” merupakan solusi yang ditawarkan. Tahap penambangan dengan sistem blok merupakan solusi yang dapat dilakukan. Hal inilah yang seharusnya ditempuh oleh para pelaksana lapangan, dalam usaha untuk merangkul masyarakat. Bukan dengan cara membakar poskamling yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang ingin membuat situasi semakin keruh. Masyarakat terpancing untuk menuduh pengusaha berada di belakang tindakan yang arogan, itu adalah suatu hal yang wajar, meskipun ulah tersebut mungkin dilakukan oleh sekelompok masyarakat penganggur yang senang membuat onar.

Satu kata kunci, marilah masyarakat kita buat sejahtera, pihak aparat keamanan dan pemerintah wajib sadar, masyarakat hanya ingin dapat makan dan menyekolahkan anak-anak mereka demi kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Bukan tidak mungkin, keinginan menambang pasir besi masih dapat dilaksanakan. Jangan, pasir besi diolah untuk (memanasi) masyarakat. Siapa bilang, tidak ada harapan? Masyarakat petani pantai adalah masyarakat lugu, pergunakan pendekatan kepada masyarakat dengan gaya Ngayogyakarta. q - s. (4568-2008).

Sumber :
Prof Dr Ir Sukandarrumidi MSc, Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM. Dalam :
http://geologi.iagi.or.id/2008/11/21/urun-rembug-pasir-besi-kulonprogo/
21 November 2008

Bandara Adisutjipto Bakal Pindah ke Kulonprogo?

Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI merekomendasikan pemindahan Bandara Adisutjipto di Kota Yogyakarta ke Kulonprogo. Pemindahan lokasi bandara merupakan pilihan terbaik karena pengembangan lagi Bandara Adisutjipto sudah tidak memungkinkan.

Dalam kunjungan kerja ke Bandara Adisutjipto, anggota DPR RI menilai frekuensi penerbangan dan arus penumpang di Bandara Adisutjipto sudah melebihi kapasitas. Sudah tidak layak lagi, harus segera dipindah, kata Anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Agus Bastian, usai kunjungan kerja di Bandara Adisutjipto, Kamis (5/8).

Agus menambahkan arus penumpang Bandara Adisutjipto sudah mencapai lebih 1 juta penumpang per tahun sehingga penerbangan makin padat. Seringkali penerbangan komersial di Bandara Adisutjipto juga harus berputar di udara karena berbarengan dengan jam latihan terbang Akademi TNI Angkatan Udara.

Panjang landasan Adisutjipto pun hanya 2.200 meter sehingga menyulitkan pendaratan pesawat berbadan besar. Padahal bandara ini sudah mulai melayani penerbangan internasional. Penambahan panjang landasan juga terhalan g jalan raya serta sudah padatnya permukiman di sekitar bandara.

Usai menggelar kunjungan kerja di Bandara Adisutjipto, tim dari Komisi V DPR RI melanjutkan kunjungan ke Landasan Pangkalan Udara TNI AU Gading di Playen, Gunung Kidul. Hingga kini, landasan pangkalan udara tersebut belum bisa dimanfaatkan karena masih belum terbangunnya beberapa infrastruktur latihan.

Hasil dari kunjungan kerja DPR RI kali ini akan dibawa ke Rapat Dengar Pendapat bersama Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta. Rekomendasi utama dari Komisi V DPR RI adalah perlu pemindahan Bandara Adisutjipto ke Kulonprogo. DPR RI akan mendorong pemindahan bandara ke Kulonprogo, tambah Agus.

Manajer Operasi PT Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Halendra menegaskan bahwa PT Angkasa Pura I hanya berperan sebagai pelaksana sehingga akan mengikuti apapun keputusan pemerintah. Namun, pemindahan bandara ke Kulonprogo tersebut harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang sehingga tidak merugikan kenyamanan konsumen.

Menurut Halendra, Bandara Adisutjipto telah memperoleh predikat sebagai bandara ternyaman dan terbersih pada 2009. P ascagempa 2006, renovasi bandara dilakukan sehingga bisa menampung 1 juta penumpang per tahun. Tahun 2009, Bandara Adisutjipto sanggup menampung 3,2 juta penumpang per tahun. Jika terlalu dipaksakan, tingkat pelayanan bandara akan turun, kata Halendra. (Mawar Kusuma Wulan)


Sumber :
http://properti.kompas.com/read/2010/08/05/19543681/Bandara.Adisutjipto.Bakal.Pindah.ke.Kulonprogo.
5 Agustus 2010

Sejarah Gunungkidul



Pada waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara, terdapat suatu desa yang dihuni beberapa orang pelarian dari Majapahit. Desa tersebut adalah Pongangan, yang dipimpin oleh R. Dewa Katong saudara raja Brawijaya. Setelah R Dewa Katong pindah ke desa Katongan 10 km utara Pongangan, puteranya yang bernama R. Suromejo membangun desa Pongangan, sehingga semakin lama semakin rama. Beberapa waktu kemudian, R. Suromejo pindah ke Karangmojo.

Perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul itu didengar oleh raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Kemudian ia mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah dinyatakan kebenarannya, Tumenggung Prawiropekso menasehati R. Suromejo agar meminta ijin pada raja Mataram, karena daerah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.

R. Suromejo tidak mau, dan akhirnya terjadilah peperangan yang mengakibatkan dia tewas. Begitu juga 2 anak dan menantunya. Ki Pontjodirjo yang merupakan anak R Suromejo akhirnya menyerahkan diri, oleh Pangeran Sambernyowo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I. Namun Bupati Mas Tumenggung Pontjodirjo tidak lama menjabat karena adanya penentuan batas-batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831. Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) menjadi kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.

Mas Tumenggung Pontjodirjo diganti Mas Tumenggung Prawirosetiko, yang mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari.

Menurut Mr R.M Suryodiningrat dalam bukunya ”Peprentahan Praja Kejawen” yang dikuatkan buku de Vorstenlanden terbitan 1931 tulisan G.P Rouffaer, dan pendapat B.M.Mr.A.K Pringgodigdo dalam bukunya Onstaan En Groei van het Mangkoenegorosche Rijk, berdirinya Gunungkidul (daerah administrasi) tahun 1831 setahun seusai Perang Diponegoro, bersamaan dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta. Disebutkan bahwa ”Goenoengkidoel, wewengkon pareden wetan lepen opak. Poeniko siti maosan dalem sami kaliyan Montjanagari ing jaman kino, dados bawah ipun Pepatih Dalem. Ing tahoen 1831 Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon satoenggal-satoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan sesebatan Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan serta Bantoel. Siti maosan dalem ing Pengasih dipoen koewaosi dening Boepati Wedono Distrik Pamadjegan Dalem. Makanten oegi ing Sentolo wonten pengageng distrik ingkang kaparingan sesebatan Riya. Goenoengkidoel ingkang nyepeng siti maosan dalem sesebatan nipoen Riya.”

Dan oleh upaya yang dilakukan panitia untuk melacak Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul tahun 1984 baik yang terungkap melalui fakta sejarah, penelitian, pengumpulan data dari tokoh masyarakat, pakar serta daftar kepustakaan yang ada, akhirnya ditetapkan bahwa Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan lahir pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.

Sedangkan secara yuridis, status Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.

Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ” HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381, sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.


Sumber :
http://www.gunungkidulkab.go.id/home.php?mode=content&submode=detail&id=598


Sumber Gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gunungkidul
http://polresgunungkidul.com/?r=Sub&menu=Tentang%20Kami&submenu=petaWilayah

Pesona Pantai Sepanjang, Gunung Kidul


Gunung Kidul merupakan kabupaten yang letaknya paling jauh dari pusat kota Yogyakarta, serta merupakan wilayah yang tandus karena didominasi oleh pegunungan kapur, atau yang lebih trennya di sebut Karst. Namun ternyata di balik keterbelakangannya Gunung Kidul mempunyai pesona yang sangat indah pada wisata pantainya, salah satu contohnya adalah Pantai Sepanjang.

Sesuai namanya pantai ini memanjang dengan hamparan pasir putihnya yang bersih disertai gulungan ombak yang cukup besar dan air lautnya yang berwarna biru jernih. Secara administratif Pantai ini terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari sekitar 1,5 km di sebelah timur Pantai Baron.

Pantai Sepanjang bukan merupakan wilayah reklamasi sehingga kenampakannya masih alami, pesisir pantainya tidak begitu luas dan relatif landai. Namun karena memiliki banyak pesona yang menjadi kelebihan dibandingkan pantai lain yang ada pada kompleks Pantai Baron, maka pantai ini sedang dalam perencanaan pemerintah daerah untuk dikembangkan.

Kelebihan yang terdapat pada Pantai Sepanjang ini diantaranya adalah terdapatnya pemandangan bukit-bukit kapur yang terabrasi menjadi tebing karena terkena ombak. Abrasi dari tebing yang berupa batuan kapur menghasilkan pasir putih murni pada pantai tanpa adanya campuran dari sedimentasi, hal ini dikarenakan tidak terdapatnya satupun muara sungai yang mengarah ke pantai ini, sehingga tidak ada material apapun yang terbawa dan terendapkan di pantai.

Di sepanjang pantai terpadat berbagai macam hewan laut yang melimpah diantaranya bintang laut, siput laut, bulu babi atau yang biasa di sebut landak laut, kepiting, udang,dan ikan. Vegetasi yang terdapat pada pesisir pantai adalah sejenis tanaman pandan berduri khas pantai, sedangkan pada lahan kapurnya terdapat pohon akasia, mahoni, jati, dan tanaman pertanian seperti jagung, ketela, kacang tanah, serta jarak.

Berkunjung ke pantai ini saat bulan baru akan jauh lebih indah, karena pada saat bulan baru laut dalam keadaan surut, sebaliknya saat bulan purnama air laut sedang pasang sehingga pesisir pantainya akan semakin sempit. Kita dapat berjalan menyusuri pantai atau ke puncak bukit kapurnya yang menyuguhkan panorama indah, akan tetapi jangan coba-coba untuk mandi di laut karena arusnya cukup deras, apalagi ditambah dengan kontur pasir putihnya yang cukup landai agak terjal antara 10-40 derajat.



Sumber :
Anisa Chairina
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1183
17 Maret 2010

Sumber Gambar:
http://vierapremiersta.blogspot.com/2010/04/pantai-sepanjang-yogyakarta.html

Menyeruak Kegelapan Labirin Kolong Gunung Kidul


Dipandang dari arah utara, selepas kota Yogyakarta, plato kars ini memperlihatkan warna dominan kecokelatan, seolah memperkuat citra tandus dan kering yang melekat pada kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini. Nama Gunung Sewu, yang berarti gunung seribu dalam bahasa setempat, merupakan ekspresi dari banyaknya bukit batu gamping berbangun kerucut yang mendominasi topografinya. Di sanalah selama 11 hari kami 11 orang anggota tim ekspedisi telusur gua Mapala UI, akan mengadakan eksplorasi 13 gua.

Mobil yang disewa dari stasiun Lempuyangan, terus bergerak menuju desa Giripurwo, di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Pemandangan bentang alam tandus dan berbatu yang ditumbuhi pohon-pohon kering kecokelatan pun tertampak.

Asing juga rasanya melihat pemandangan seperti ini, ternyata tidak selamanya negeri ini dihiasi oleh pepohonan hijau nan lebat, seperti yang sering kami jumpai ketika bergiat di alam bebas. Namun siapa yang menyangka di balik kegersangannya, tempat ini adalah surga bagi penelusur gua.

Di balai dusun Widoro, desa Giripurwo kami disambut senyum ramah dan bersahabat dari penduduk dusun yang bersahaja. Sambutan yang seakan-akan membuat kami terlupa pada ‘misi penuh risiko’ yang akan dilakukan mulai esok hari. Apalagi malam harinya, rekan-rekan sesama penelusur gua dari Yogya dan anak-anak SD yang minta diajarkan beberapa mata pelajaran sekolah, datang berkunjung.

Tak terasa fajar hari esok pun merekah, menandai dimulainya aktivitas kami yang sesungguhnya. Inilah hari pertama penelusuran. Penuh semangat, langkah kaki kami ayunkan menuju lokasi gua yang telah ditentukan.

Seterusnya, setiap hari penelusuran, kami dibagi dalam dua tim yang akan menelusuri dua gua yang berbeda. Pada penelusuran kali pertama ini, satu tim menelusuri gua Kaligede, sedangkan satu tim lainnya menelusuri gua Widoro.

Gua Kaligede terletak di areal ladang penduduk dan kompleks pekuburan tradisional. Berbeda dengan bentuk kuburan pada umumnya, kuburan di kompleks tersebut berupa rumah-rumah kecil yang disebut cungkup. Tiap cungkup ‘dihuni’ oleh satu keluarga, yaitu bapak, ibu, dan anak.

Mulut gua Kaligede, berada di dasar dinding batu gamping berwarna putih. Tak jauh dari mulut gua, terdapat sumur yang mendjadi andalan penduduk untuk memenuhi keperluan air sehari-hari.

Tinggi mulut yang hanya setengah meter membuat kami harus merayap untuk masuk ke dalam gua. Aroma tak sedap dari genangan air di mulut gua yang berasal dari air bekas pakai di sumur, memberi kesan jorok dan kumuh.
Bukannya kami sok bersih. Berlepotan lumpur di dalam gua sudah biasa bagi kami, tapi bukan berlumuran limbah manusia.

Keadaan di dalam pun tidak membuat gerak penelusuran lebih leluasa. Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan sebagai kompromi dengan tinggi lorong gua yang tidak sampai satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah yang dialiri oleh air. Ornamen sepanjang lorong adalah stalaktit dan straw. Tak banyak stalagmit yang dijumpai, itu pun pendek.

Rombongan kelelawar yang menyerbu dari arah dalam bak air bah, membuat penelusuran ini semakin seru. Bukan hanya lampu karbit di helm yang satu dua kali ditabrak hingga padam, muka pun menjadi korban tabrak lari oleh kelelawar-kelelawar itu.
Jarak 41 meter pun tercapai, ketika sebuah sump (titik dalam gua di mana permukaan air mencapai atap lorong dan lorong tersebut berlanjut di bawah air) dengan kedalaman lebih dari setengah meter, menghadang.

Karena tidak berani mengambil risiko menyelami sump itu tanpa mengetahui ujungnya di mana, kami memutuskan untuk mengakhiri penelusuran. Udara di dalam yang dipenuhi oleh gas karbit yang menyesakkan, membuat kami buru-buru menuju mulut gua.


Diganggu Hantu

Lain gua lain pula ceritanya. Itu yang kami alami pada eksplorasi hari ketiga. Hari itu salah satu tim menelusuri luweng Samar, yang berada kira-kira satu km ke arah timur dari base camp. Tak sulit mencapai luweng ini, karena terletak tidak jauh dari tepi jalan kampung yang berbatu. Hanya saja kami harus membersihkan sekitar mulut gua dari semak belukar liar yang berduri.

Gua fosil (gua tak berair) berbentuk sumuran tegak (pothole) ini memiliki kedalaman 21 meter. Pada salah satu sisi di dasar gua terdapat cerukan dengan celah sempit menuju sebuah ruangan yang tegak sejajar dengan lorong utama. Namun ruangan ini tidak memiliki lubang langsung ke permukaan. Flowstone (ornamen gua yang memiliki bentuk seperti aliran yang membeku) menutupi dinding ruangan ini, mulai dari atas hingga ke bawah.

Aktivitas pemetaan dan pemotretan telah tuntas ketika satu persatu dari kami beranjak ke luar dengan menaiki tali. Giliran Pay orang terakhir yang menaiki tali. ”Hii...!” keluhnya ketika sampai di permukaan. ”Tadi gue denger suara orang ngedumel di bawah.” Suara itu, katanya lagi, terdengar dari arah celah sempit yang tadi kami masuki.

Cerita pun berlanjut ketika di tengah perjalanan pulang menuju base camp, kami berpapasan dengan seekor sapi yang sedang dituntun oleh seorang anak kampung. Sapi itu mengamuk begitu melihat Pay yang mengenakan coverall jingga dan packsack merah di punggungnya. Kontan kami bubar tak tentu arah, menyelamatkan diri.
Pay yang jadi sasaran amukan sapi, lari tunggang langgang. Packsack merah di punggung, dilepasnya begitu saja. Beruntung si sapi berhasil ditenangkan oleh sang majikan dan dituntun pergi. Kejadian tadi menjadi cerita yang mengundang gelak tawa di base camp, pada malam harinya, ketika semua anggota tim telah berkumpul.


Dua Gua

Selama dua hari satu malam berikutnya, kami menelusuri gua Blimbing dan gua Pego.
Kami rupanya menjadi tontonan yang menarik bagi para penduduk di Gunung Kidul. Di antara yang menonton adalah seorang pemuda bernama Gianto. Bapaknya tewas di gua ini dua tahun sebelumnya (tahun 1998) ketika sedang mencari sarang walet.
Kisah itu mengundang rasa simpati di hati sekaligus rasa takut. Cerita horor roh orang mati yang bergentayangan sempat menghinggap di benak. Jangan-jangan ada kejadian aneh lagi yang akan kami alami di dalam gua.

Slope (lereng) sepanjang 3 meter harus dilalui sebelum melewati celah sempit untuk memasuki lorong gua yang gelap. Di dalam, lorong vertikal sedalam 21 meter, menyambut. Sebuah batang kayu yang digunakan untuk mengevakuasi mayat ayah Gianto, melintang di mulutnya. Lorong vertikal tadi berujung pada chamber (ruangan besar dalam gua) yang lantainya ditutupi oleh lumpur.

Hanya stalaktit dan straw yang menghiasi chamber ini. Sebuah senter berwarna keperakan, nampak tergeletak di salah satu lubang di lantai gua. Rupanya senter itu milik almarhum ayah Gianto. Atas permintaan Gianto, kami mengambil senter itu untuk diberikan kepadanya. Eksplorasi berakhir pukul 16.00. Selanjutnya tim menuju rumah Gianto untuk bermalam.

Waktu menunjukkan pukul 07.00 ketika kami harus bersiap untuk meneruskan ekspedisi ini. Pakaian yang basah dan penuh lumpur kembali melekat di tubuh. Satu tim melanjutkan eksplorasi gua Pego yang tertunda, sementara satu tim lainnya menuju luweng Tumpakwatang.

Di dasar dolina (lembah tertutup) yang oleh penduduk dimanfaatkan sebagai ladang berundak-undak, sebuah lubang menganga dengan diameter lebih kurang 6 meter. Itulah mulut luweng Tumpakwatang.

Melongok ke dalam lubang, hanya kegelapan yang terlihat, meski ukuran lubang tersebut cukup besar dan matahari bersinar terang di atas. Sepertinya luweng (gua vertikal) ini memang dalam, begitu kesimpulan di benak kami.
Ternyata kami benar. Apa boleh buat untuk kesekian kalinya eksplorasi kami tidak tuntas. Tali yang kami bawa, tidak cukup untuk ”mengantar” kami memasuki gua ini. Perasaan tidak puas campur penasaran, menghinggapi benak, ketika satu per satu dari kami menaiki tali.


Eksplorasi Terakhir

Seru dan menegangkan. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan eksplorasi terakhir di pantai Alas Bekah, sekitar lima km. di selatan dusun Giripurwo. Berbeda dengan gua-gua sebelumnya, kali ini gua yang akan dimasuki berada di tebing pantai yang langsung menghadap lautan lepas.

Sampailah rombongan tim di pantai Alas Bekah. Base camp segera didirikan di ladang penduduk, tak jauh dari tebing pantai yang menghadap Samudera Hindia.
Persiapan penelusuran pun dilakukan. Sejurus kemudian, Boy sebagai leader dan sejumlah penduduk, menuruni tebing pantai setinggi kurang lebih 100 meter. Tangga tali dituruninya sambil di-belay dari atas. Di bawah, deburan ombak samudera yang dahsyat seolah menanti datangnya seorang korban. Waktu 30 menit berlalu dan Boy telah tiba di dasar tebing.

Dari tiga mulut gua yang ada, hanya satu yang bisa dimasuki. Satu mulut gua tidak dapat dilalui karena tertutup air laut yang pasang. Sedangkan dari mulut gua ketiga terlihat air yang mengalir keluar dengan deras. Sebuah boulder besar memisahkan mulut gua yang dapat dimasuki, dengan laut lepas yang berombak ganas.
Ditemani penduduk, Boy masuk ke dalam gua. Ketiga mulut gua tadi rupanya pintu menuju gua horisontal yang sama. Di dalam ditemukan sungai bawah tanah yang mengalir deras. Penelusuran tidak dapat masuk lebih jauh karena dibatasi oleh waktu dan kemungkinan pasang laut.

Hari berikutnya, meski telah menunggu beberapa waktu, air laut tak kunjung surut juga, malah terlihat mulai masuk ke dalam gua. Inilah pertanda alam bahwa eksplorasi harus segera dihentikan.

Tim pun sepakat untuk mengakhiri penelusuran. Selanjutnya, memanjat tebing dengan bantuan bentangan tangga tali untuk mencapai base camp di atas tebing, menandai akhir eksplorasi hari itu, sekaligus aktivitas petualangan terakhir yang dilakukan oleh tim.
Rasa puas campur sedikit penasaran, mengisi suasana perjalanan pulang tim menuju base camp di dusun Giripurwo. Sepertinya lengkap sudah ekspedisi kami. Dari gua ‘pedalaman’ hingga gua pantai telah kami telusuri. Mungkin di lain waktu kami akan kembali. (andi amran)

Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2002/073/wis01.html