Dipandang dari arah utara, selepas kota Yogyakarta, plato kars ini memperlihatkan warna dominan kecokelatan, seolah memperkuat citra tandus dan kering yang melekat pada kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini. Nama Gunung Sewu, yang berarti gunung seribu dalam bahasa setempat, merupakan ekspresi dari banyaknya bukit batu gamping berbangun kerucut yang mendominasi topografinya. Di sanalah selama 11 hari kami 11 orang anggota tim ekspedisi telusur gua Mapala UI, akan mengadakan eksplorasi 13 gua.
Mobil yang disewa dari stasiun Lempuyangan, terus bergerak menuju desa Giripurwo, di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Pemandangan bentang alam tandus dan berbatu yang ditumbuhi pohon-pohon kering kecokelatan pun tertampak.
Asing juga rasanya melihat pemandangan seperti ini, ternyata tidak selamanya negeri ini dihiasi oleh pepohonan hijau nan lebat, seperti yang sering kami jumpai ketika bergiat di alam bebas. Namun siapa yang menyangka di balik kegersangannya, tempat ini adalah surga bagi penelusur gua.
Di balai dusun Widoro, desa Giripurwo kami disambut senyum ramah dan bersahabat dari penduduk dusun yang bersahaja. Sambutan yang seakan-akan membuat kami terlupa pada ‘misi penuh risiko’ yang akan dilakukan mulai esok hari. Apalagi malam harinya, rekan-rekan sesama penelusur gua dari Yogya dan anak-anak SD yang minta diajarkan beberapa mata pelajaran sekolah, datang berkunjung.
Tak terasa fajar hari esok pun merekah, menandai dimulainya aktivitas kami yang sesungguhnya. Inilah hari pertama penelusuran. Penuh semangat, langkah kaki kami ayunkan menuju lokasi gua yang telah ditentukan.
Seterusnya, setiap hari penelusuran, kami dibagi dalam dua tim yang akan menelusuri dua gua yang berbeda. Pada penelusuran kali pertama ini, satu tim menelusuri gua Kaligede, sedangkan satu tim lainnya menelusuri gua Widoro.
Gua Kaligede terletak di areal ladang penduduk dan kompleks pekuburan tradisional. Berbeda dengan bentuk kuburan pada umumnya, kuburan di kompleks tersebut berupa rumah-rumah kecil yang disebut cungkup. Tiap cungkup ‘dihuni’ oleh satu keluarga, yaitu bapak, ibu, dan anak.
Mulut gua Kaligede, berada di dasar dinding batu gamping berwarna putih. Tak jauh dari mulut gua, terdapat sumur yang mendjadi andalan penduduk untuk memenuhi keperluan air sehari-hari.
Tinggi mulut yang hanya setengah meter membuat kami harus merayap untuk masuk ke dalam gua. Aroma tak sedap dari genangan air di mulut gua yang berasal dari air bekas pakai di sumur, memberi kesan jorok dan kumuh.
Bukannya kami sok bersih. Berlepotan lumpur di dalam gua sudah biasa bagi kami, tapi bukan berlumuran limbah manusia.
Keadaan di dalam pun tidak membuat gerak penelusuran lebih leluasa. Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan sebagai kompromi dengan tinggi lorong gua yang tidak sampai satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah yang dialiri oleh air. Ornamen sepanjang lorong adalah stalaktit dan straw. Tak banyak stalagmit yang dijumpai, itu pun pendek.
Rombongan kelelawar yang menyerbu dari arah dalam bak air bah, membuat penelusuran ini semakin seru. Bukan hanya lampu karbit di helm yang satu dua kali ditabrak hingga padam, muka pun menjadi korban tabrak lari oleh kelelawar-kelelawar itu.
Jarak 41 meter pun tercapai, ketika sebuah sump (titik dalam gua di mana permukaan air mencapai atap lorong dan lorong tersebut berlanjut di bawah air) dengan kedalaman lebih dari setengah meter, menghadang.
Karena tidak berani mengambil risiko menyelami sump itu tanpa mengetahui ujungnya di mana, kami memutuskan untuk mengakhiri penelusuran. Udara di dalam yang dipenuhi oleh gas karbit yang menyesakkan, membuat kami buru-buru menuju mulut gua.
Diganggu Hantu
Lain gua lain pula ceritanya. Itu yang kami alami pada eksplorasi hari ketiga. Hari itu salah satu tim menelusuri luweng Samar, yang berada kira-kira satu km ke arah timur dari base camp. Tak sulit mencapai luweng ini, karena terletak tidak jauh dari tepi jalan kampung yang berbatu. Hanya saja kami harus membersihkan sekitar mulut gua dari semak belukar liar yang berduri.
Gua fosil (gua tak berair) berbentuk sumuran tegak (pothole) ini memiliki kedalaman 21 meter. Pada salah satu sisi di dasar gua terdapat cerukan dengan celah sempit menuju sebuah ruangan yang tegak sejajar dengan lorong utama. Namun ruangan ini tidak memiliki lubang langsung ke permukaan. Flowstone (ornamen gua yang memiliki bentuk seperti aliran yang membeku) menutupi dinding ruangan ini, mulai dari atas hingga ke bawah.
Aktivitas pemetaan dan pemotretan telah tuntas ketika satu persatu dari kami beranjak ke luar dengan menaiki tali. Giliran Pay orang terakhir yang menaiki tali. ”Hii...!” keluhnya ketika sampai di permukaan. ”Tadi gue denger suara orang ngedumel di bawah.” Suara itu, katanya lagi, terdengar dari arah celah sempit yang tadi kami masuki.
Cerita pun berlanjut ketika di tengah perjalanan pulang menuju base camp, kami berpapasan dengan seekor sapi yang sedang dituntun oleh seorang anak kampung. Sapi itu mengamuk begitu melihat Pay yang mengenakan coverall jingga dan packsack merah di punggungnya. Kontan kami bubar tak tentu arah, menyelamatkan diri.
Pay yang jadi sasaran amukan sapi, lari tunggang langgang. Packsack merah di punggung, dilepasnya begitu saja. Beruntung si sapi berhasil ditenangkan oleh sang majikan dan dituntun pergi. Kejadian tadi menjadi cerita yang mengundang gelak tawa di base camp, pada malam harinya, ketika semua anggota tim telah berkumpul.
Dua Gua
Selama dua hari satu malam berikutnya, kami menelusuri gua Blimbing dan gua Pego.
Kami rupanya menjadi tontonan yang menarik bagi para penduduk di Gunung Kidul. Di antara yang menonton adalah seorang pemuda bernama Gianto. Bapaknya tewas di gua ini dua tahun sebelumnya (tahun 1998) ketika sedang mencari sarang walet.
Kisah itu mengundang rasa simpati di hati sekaligus rasa takut. Cerita horor roh orang mati yang bergentayangan sempat menghinggap di benak. Jangan-jangan ada kejadian aneh lagi yang akan kami alami di dalam gua.
Slope (lereng) sepanjang 3 meter harus dilalui sebelum melewati celah sempit untuk memasuki lorong gua yang gelap. Di dalam, lorong vertikal sedalam 21 meter, menyambut. Sebuah batang kayu yang digunakan untuk mengevakuasi mayat ayah Gianto, melintang di mulutnya. Lorong vertikal tadi berujung pada chamber (ruangan besar dalam gua) yang lantainya ditutupi oleh lumpur.
Hanya stalaktit dan straw yang menghiasi chamber ini. Sebuah senter berwarna keperakan, nampak tergeletak di salah satu lubang di lantai gua. Rupanya senter itu milik almarhum ayah Gianto. Atas permintaan Gianto, kami mengambil senter itu untuk diberikan kepadanya. Eksplorasi berakhir pukul 16.00. Selanjutnya tim menuju rumah Gianto untuk bermalam.
Waktu menunjukkan pukul 07.00 ketika kami harus bersiap untuk meneruskan ekspedisi ini. Pakaian yang basah dan penuh lumpur kembali melekat di tubuh. Satu tim melanjutkan eksplorasi gua Pego yang tertunda, sementara satu tim lainnya menuju luweng Tumpakwatang.
Di dasar dolina (lembah tertutup) yang oleh penduduk dimanfaatkan sebagai ladang berundak-undak, sebuah lubang menganga dengan diameter lebih kurang 6 meter. Itulah mulut luweng Tumpakwatang.
Melongok ke dalam lubang, hanya kegelapan yang terlihat, meski ukuran lubang tersebut cukup besar dan matahari bersinar terang di atas. Sepertinya luweng (gua vertikal) ini memang dalam, begitu kesimpulan di benak kami.
Ternyata kami benar. Apa boleh buat untuk kesekian kalinya eksplorasi kami tidak tuntas. Tali yang kami bawa, tidak cukup untuk ”mengantar” kami memasuki gua ini. Perasaan tidak puas campur penasaran, menghinggapi benak, ketika satu per satu dari kami menaiki tali.
Eksplorasi Terakhir
Seru dan menegangkan. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan eksplorasi terakhir di pantai Alas Bekah, sekitar lima km. di selatan dusun Giripurwo. Berbeda dengan gua-gua sebelumnya, kali ini gua yang akan dimasuki berada di tebing pantai yang langsung menghadap lautan lepas.
Sampailah rombongan tim di pantai Alas Bekah. Base camp segera didirikan di ladang penduduk, tak jauh dari tebing pantai yang menghadap Samudera Hindia.
Persiapan penelusuran pun dilakukan. Sejurus kemudian, Boy sebagai leader dan sejumlah penduduk, menuruni tebing pantai setinggi kurang lebih 100 meter. Tangga tali dituruninya sambil di-belay dari atas. Di bawah, deburan ombak samudera yang dahsyat seolah menanti datangnya seorang korban. Waktu 30 menit berlalu dan Boy telah tiba di dasar tebing.
Dari tiga mulut gua yang ada, hanya satu yang bisa dimasuki. Satu mulut gua tidak dapat dilalui karena tertutup air laut yang pasang. Sedangkan dari mulut gua ketiga terlihat air yang mengalir keluar dengan deras. Sebuah boulder besar memisahkan mulut gua yang dapat dimasuki, dengan laut lepas yang berombak ganas.
Ditemani penduduk, Boy masuk ke dalam gua. Ketiga mulut gua tadi rupanya pintu menuju gua horisontal yang sama. Di dalam ditemukan sungai bawah tanah yang mengalir deras. Penelusuran tidak dapat masuk lebih jauh karena dibatasi oleh waktu dan kemungkinan pasang laut.
Hari berikutnya, meski telah menunggu beberapa waktu, air laut tak kunjung surut juga, malah terlihat mulai masuk ke dalam gua. Inilah pertanda alam bahwa eksplorasi harus segera dihentikan.
Tim pun sepakat untuk mengakhiri penelusuran. Selanjutnya, memanjat tebing dengan bantuan bentangan tangga tali untuk mencapai base camp di atas tebing, menandai akhir eksplorasi hari itu, sekaligus aktivitas petualangan terakhir yang dilakukan oleh tim.
Rasa puas campur sedikit penasaran, mengisi suasana perjalanan pulang tim menuju base camp di dusun Giripurwo. Sepertinya lengkap sudah ekspedisi kami. Dari gua ‘pedalaman’ hingga gua pantai telah kami telusuri. Mungkin di lain waktu kami akan kembali. (andi amran)
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2002/073/wis01.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar